Selasa, 31 Maret 2009

DOA YANG MENGANCAM

Doa yang Mengancam adalah sebuah film yang (lagi-lagi) bertema keikhlasan. Manusia menjadi bersahaja karena dirinya ikhlas. Ikhlas bukan aktifitas pasrah. Ikhlas adalah perjuangan. Perjuangan bergulat dengan egositas dirinya. Bukan menerima, layaknya falsafah Jawa ala cendana: Nrimo ing pandum, menerima apa yang diberikan. Ikhlas adalah wacana berserah diri. Apa yang diserahkan? Kehendak kita.
Saya menilai film ini, justru sangat realistis. Kebanyakan orang-orang seperti Madrim inilah, yang kehilangan asa untuk tetap tawakal dan meminta kepada Allah lewat doa dan ikhtiar dalam menjalani hidup. Faktornya utamanya : kemiskinan bertahun-tahun. Saya rasa, orang-orang seperti Madrim ini sangat mungkin masih ada hingga sekarang, orang yang putus asa akan hidup lalu berpaling padaNya.
Tokoh Madrim (Aming) yang dipilih benar-benar menggambarkan jerih payah orang pinggiran kota saat ini yang sulit mencari sesuap nasi, kurus, dekil. Tokoh Kadir (Ramzi) juga banyak membangun ‘isi’ dari film ini, dari mulai kata-katanya pada Madrim sebagai sahabatnya, sampe karakter anak alim yang bersahaja.
Apapun yang kita minta dalam doa dan usaha, Allah selalu mendengar dan saat itu juga jika Allah berkehendak, kunfayakun, yang terjadi maka terjadilah. Jalannya hidup terlalu sulit untuk kita terka kemana arah dan tujuannya, maka hanya Allah-lah tempat kita memohon bimbinganNya.
Madrim adalah potret manusia masa kini yang memandang Tuhan sebagai materi. Seorang “Boss” yang maha pengasih, penyayang, pemberi, pemaaf. Maka ketika kita berdosa, “si Boss” akan memaafkan jika kita meminta ampun kepadaNya. Kalau kita miskin, ‘si Boss” bisa kasih kekayaan jika kita bersujud meminta. Tuhan dimata Madrim bisa didikte. Tuhan bisa diatur. Apakah Tuhan bisa menjadi sesuatu yang kita bayangkan?
Percintaan, komedi dan kesenjangan social tidak ketinggalan menjadi “suguhan” kita saat menonton film ini. Kehidupan sosial masyarakat pinggiran yang kumuh dan bergulat dengan kemiskinan menjadi nilai tambahan film ini, faktor inilah yang membuat Madrim bisa dikatakan “lupa” dan menantang kodratnya sebagai manusia biasa yang harus berusaha dan berdoa kepada Tuhan bukannya malah mengancam Sang Maha Pemberi dengan doanya, memang bukan hanya itu faktor yang membuat Madrim berani “mengancam” Tuhan tetapi lebih dikarenakan “mengendapnya” semua rasa frustasi dalam diri Madrim ditambah istri yang dicintainya meninggalkan dirinya dikarenakan hidup yang selalu kesusahan dan kekurangan hingga dia menjadi seorang “Perempuan Panggilan”.
Semua permasalahan sosial masyarakat pinggiran tadi dikemas dengan ringan dan apik oleh mas Hanung Bramantyo selain ditaburi bumbu-bumbu komedi dan religius yang tidak ketinggalan disisipkan dalam film Doa Yang Mengancam.
Bisa dibilang film inilah potret atau gambaran nyata dari kehidupan masyarakat bangsa kita dewasa ini. Masyarakat yang miskin, egois, dan tidak mau berusaha lebih keras. Masyarakat yang terlalu mementingkan kepentingan diri diatas segalanya.
Lewat film ini ingin mengajak kita untuk bercermin diri. Memandang jauh ke dalam diri kita tentang hal-hal kecil yang kita lupa. Tentang agama, keyakinan, komitmen, dan cinta. Masih perlukah semua itu, hanya untuk meyakini bahwa kita ada?